Ketua Dewan Pers, Prof. Komarudin Hidayat, menyambut baik terselenggaranya kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berhasil menyatukan kembali organisasi wartawan tertua di Tanah Air tersebut. Menurutnya, langkah itu menjadi titik balik penting untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan yang sempat mewarnai tubuh PWI.
Jakarta, Infoindependen.com – Prof. Komarudin menyampaikan hal tersebut saat menerima audiensi pengurus PWI Pusat di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (15/9/2025). Dalam kesempatan itu, ia menekankan bahwa meski di permukaan sempat terlihat ada perpecahan, sejatinya para wartawan senior yang duduk dalam kepengurusan tetap memiliki ikatan persahabatan.
“Mereka itu tetap berkawan. Beberapa kali kalau di televisi, narasumber program dialog terlihat saling berdebat. Padahal saat jeda iklan mereka bercanda, makan, dan minum bersama. Bahkan honornya pun sama. Jadi pertengkaran itu sebenarnya hanya formalitas agar acara terlihat menarik,” ungkap Prof. Komarudin.
Menurutnya, berakhirnya dualisme kepemimpinan PWI menjadi momentum penting agar organisasi ini dapat kembali fokus memperkuat kelembagaan pers di Indonesia. Ia percaya, dengan kepengurusan yang kini diisi oleh wartawan-wartawan senior, PWI bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan strategis.
“Kalau sudah senior, tentu banyak wisdom atau kebijaksanaan dalam menyikapi persoalan. Harapan saya, dualisme ini menjadi yang terakhir,” ujarnya.
Prof. Komarudin juga menyoroti tantangan yang dihadapi dunia pers saat ini, terutama soal keberlanjutan profesi wartawan di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan media. Ia menekankan pentingnya pers tetap hadir memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekaligus negara.
“Negara membutuhkan informasi, dan pers adalah reflektor aspirasi rakyat. Rakyat pun ingin tahu apa yang terjadi di pemerintahan. Maka pers harus tetap independen, berada di luar pertempuran politik, dan menjadi clearance house yang memfilter berbagai informasi,” tambahnya.
Dalam pertemuan itu, Prof. Komarudin memberikan analogi menarik mengenai peran pers dalam ekosistem informasi. Ia membandingkan berita dengan sistem perbankan yang mengontrol aliran uang.
“Berita itu seperti bank yang mengontrol uang. Tapi sekarang banyak berita yang beredar di luar kontrol Dewan Pers, terutama melalui media sosial. Sama seperti uang yang beredar di luar bank, jumlahnya bisa lebih besar dan sulit dikendalikan,” paparnya.
Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menimbulkan masalah serius bila tidak segera diantisipasi. Ia bahkan mencontohkan kasus di Nepal, di mana masyarakat membangun jaringan suara sendiri hingga memilih perdana menteri hanya lewat WhatsApp.
Prof. Komarudin juga menyinggung fenomena perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Menurutnya, kini banyak orang lebih sibuk mengejar sensasi di media sosial ketimbang memberikan kontribusi nyata.
“Ada anekdot, kalau ada kecelakaan, wartawan bukannya langsung menolong, tapi memotret dulu untuk sumber berita. Sekarang lebih parah, jika ada orang yang mengalami kecelakaan, langsung shoot untuk masuk TikTok, mengejar gift ikan paus, sementara urusan menolong belakangan,” ujarnya.
Namun, di balik humor tersebut, ia menegaskan bahwa informasi memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan masyarakat.
“Bangun tidur, yang dicari orang bukan air minum atau sarapan, tapi informasi. Kalau informasi itu diibaratkan makanan, maka harus bergizi. Kalau yang dikonsumsi tidak sehat, masyarakat akan sakit. Begitu juga dengan informasi yang tidak bergizi, sekarang banyak membuat masyarakat ikut sakit,” pungkasnya. (Red)