Pahami aturan Jual Beli Kayu di Indonesia

0
1

Usaha dengan memanfaatkan hasil alam berupa kayu merupakan usaha yang banyak ditemui di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah yang masih mempunyai wilayah hutan cukup luas. Terdapat banyak usaha yang dapat dibentuk dari pemanfaatan hasil kayu, diantaranya usaha jual kayu, usaha industri kayu, usaha ekspor kayu, usaha kerajinan kayu, sampai usaha pengolahan limbah kayu. Namun, dibalik semua usaha yang memanfaatkan kayu terdapat bahaya yang mengancam seperti bencana alam. Jika pengolahan kayu tidak disertai dokumen-dokumen resmi sebagai tanda legalitas usaha tersebut, usaha-usaha yang memanfaatkan bahan kayu bukan hanya dapat merugikan ekonomi negara tetapi juga dapat mengganggu keseimbangan lingkungan.

Jual kayu pada tingkat petani pada umumnya dilakukan dalam bentuk pohon yang masih berdiri dilahan milik petani. Selanjutnya kayu-kayu tersebut akan di jual lagi oleh pedagang kayu kepada makelar kayu. Setelah terjadi kesepakatan harga antara pedagang kayu dengan makelar kayu, maka pedagang kayu akan menebang pohon-pohon tersebut. Pedagang kayu perlu  mengurus ijin tebang dan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk mengangkut hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak (lahan milik) masyarakat (sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/ Menhut-II/ 2007).

Perkembangan regulasi terkait hasil hutan berupa kayu di Indonesia telah memasuki tahap pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multi-stakeholder (tata kelola multipemangku/ multipihak) untuk memastikan legalitas asal-usul kayu yang beredar dan diperjualbelikan di Indonesia. Dasar pemberlakuan SVLK adalah sesuai dengan Peraturan Menteri No. 38/ Menhut-II/2009 jo. Permenhut P.42/ Menhut-II/ 2013 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Para pihak yang harus menerapkan VLK antara lain:

  • Pemegang izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam (HA), Hutan Tanaman Industri (HTI), Rehabilitasi Ekologi (RE);
  • Hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR);
  • Pemilik hutan hak (hutan rakyat);
  • Pemilik ijin pemanfaatan kayu (IPK);
  • Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Industri Usaha Lanjutan (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI).
BACA JUGA :  Membangun Potensi dan Sumber Alam Desa Sebagai Desa Produktif

Audit VLK dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK), PT. Sucofindo (Persero) telah diakreditasi KAN berdasarkan hasil rapat KAN COUNCIL tahun 2010. Adapun ruang lingkup akreditasi meliputi:

  • VLK yang berasal dari Hutan Negara pada IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK-HTI/HPHTI, IUPHHK-RE.
  • VLK yang berasal dari Hutan Negara yang dikelola masyarakat pada IUPHHK-HTR/HKm.
  • VLK pada IUIPHHK dan IUI Lanjutan.
  • VLK yang berasal dari Hutan Hak.
  • VLK pada pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.8/ VI-BPPHH/ 2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, SVLK memiliki standar legalitas kayu sebagai berikut:

  • Standar VLK pada hutan negara yang dikelola oleh pemegang izin dan pemegang hak pengelolaan.
  • Standar VLK pada hutan negara yang dikelola oleh masyarakat (HTR,HKm, HD)
  • Standar VLK pada hutan hak
  • Standar VLK pada pemegang IPK
  • Standar VLK pada pemegang IUIPHHK dan IUI
  • Standar VLK pada TDI (Tanda Daftar Industri)
  • Standar VLK pada industri rumah tangga dan pengrajin
  • Standar VLK pada TPT.