Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini, empat orang wartawan dari media daring menjadi korban penganiayaan saat meliput aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Lubuk Toman, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 20 Mei 2025.
Ketapang, Infoindependen.com – Keempat jurnalis tersebut berinisial Sb, Er, Sd, dan Ry. Dalam keterangannya kepada awak media, mereka sedang menjalankan tugas peliputan jurnalistik ketika secara tiba-tiba diserang oleh seorang pria berinisial Rn yang diduga sebagai pelaku kegiatan PETI di lokasi tersebut.
“Dia (Rn) langsung ambil kayu dan memukuli kami berempat. Kami sudah dikerumuni para penambang, jadi tidak bisa melawan. Saya kena pukulan di wajah, bibir, dan badan,” ujar Sb, salah satu korban, saat ditemui dalam kondisi masih menjalani pengobatan.
Akibat insiden tersebut, para korban mengalami luka-luka dan telah menjalani visum et repertum di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang sebagai bukti laporan ke pihak kepolisian. Mereka juga telah melaporkan peristiwa itu ke Polres Ketapang. Namun, tiga hari kemudian, tepatnya 23 Mei 2025, laporan tersebut diketahui telah dilimpahkan ke Polsek Matan Hilir Selatan.
Kebijakan pelimpahan perkara ke tingkat polsek ini menimbulkan tanda tanya di kalangan korban dan rekan-rekan media. Menurut keterangan pihak pelapor, jawaban yang diterima dari Polres Ketapang adalah bahwa hal tersebut merupakan keputusan Kapolres.
Tim investigasi yang turut menelusuri lokasi PETI di Lubuk Toman menemukan adanya aktivitas penambangan ilegal secara masif. Sejumlah alat berat jenis ekskavator beroperasi di area yang telah mengalami kerusakan lingkungan parah, seperti penggalian tanpa reklamasi dan hutan yang berubah menjadi lahan terbuka.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai keberadaan dan efektivitas pengawasan aparat penegak hukum (APH), Pemerintah Daerah, Gakkum KLHK, dan Kejaksaan. Aktivitas tambang ilegal yang masif ini seolah berlangsung tanpa kendali dan pengawasan yang memadai, mencerminkan lemahnya penegakan hukum di lapangan.
Ketua DPD KPK TIPIKOR Kalimantan Barat, Marco Pradis, S.H., mengecam keras tindakan kekerasan terhadap wartawan. Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebebasan pers.
“Tindakan kekerasan terhadap orang dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan, apalagi kepada jurnalis yang sedang menjalankan tugas. Pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan, dan juga Pasal 18 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dengan ancaman pidana 2 tahun penjara dan denda hingga Rp500 juta,” jelas Marco, Minggu (25/05/2025).
Ia juga mendesak kepolisian agar memproses kasus ini secara transparan dan tegas agar tidak menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Peristiwa ini menjadi tamparan keras terhadap komitmen perlindungan terhadap insan pers, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Negara telah menjamin kebebasan pers, termasuk memberikan perlindungan hukum saat jurnalis menjalankan fungsi kontrol sosial.
Masyarakat khususnya komunitas pers di Kalimantan Barat, kini menanti keberanian dan ketegasan aparat dalam menindak pelaku penganiayaan serta menertibkan aktivitas PETI yang merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat atas ruang hidup yang bersih dan sehat. (Abdullah)