Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang telah disahkan pada 15 Januari 2014 silam, membawa euforia tersendiri bagi para pemangku kepentingan Desa. Hal ini ditandai dengan menyeruaknya sorak gembira para kepala desa dari berbagai daerah di balkon sidang paripurna di Gedung DPR, pasca palu sidang diketuk oleh pimpinan sidang, Priyo Budi Santoso.
- Salah satu poin dalam UU tersebut, Kepala desa akan mendapat gaji tetap setiap bulannya. Kehadiran UU Desa membawa angin segar bagi Kepala desa di seluruh Indonesia, karena mereka akan menerima penghasilan tetap. Tidak hanya itu, UU tersebut juga mengatur tentang alokasi dana dari pemerintah pusat, yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan desa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia telah menunjukkan bahwa Desa (atau yang disebut dengan nama lain) memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat serta berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.
- Adanya keberagaman karakteristik dan jenis Desa,hal ini tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Negara Kesatuan memang memerlukan homogenitas, tetapi Negara Kesatuan R epublik Indonesia tetap harus memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
- Hal tersebut menunjukkan bahwa Desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju mandiri dan demokratis, sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
PERMASALAHAN
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka terdapat masalah hukum, yaitu :
1. Bagaimana kedudukan hukum kepala desa berdasarkan Peraturan Perundangundangan, khususnya dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
2. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bagaimana kaitan dan urgensinya dengan pemeriksaan oleh BPK, mengingat bahwa dana desa berasal dari dana perimbangan APBN?
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Kepala Desa
Kedudukan Kepala desa dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan tampaknya lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan. Faktor utamanya yaitu bahwa persepsi mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan.
Demikian juga halnya bahwa lembaga-lembaga yang terdapat dalam UndangUndang Dasar belum tentu merupakan lembaga yang bersifat ketatanegaraan.
Konstitusi negara, secara eksplisit mengatur satuan pemerintahan yang mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota5, sedangkan kedudukan Desa (atau nama lainnya), diberi ruang yang terpisah pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ada pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan UU.
Landasan tersebut memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya masih tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Desa.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakui keberadaan pemerintahan desa, tetapi tidak bermaksud untuk mempertahankan sistem pemerintahan desa ini dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya klausul yang memperbolehkan untuk mengubah status desa menjadi kelurahan,8 yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Kebijakan tentang Desa di dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga mengatur perihal kedudukan serta pengisian jabatan kepala desa dan penghasilan Pemerintah Desa.
Pertama, kedudukan kepala desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.9 Walaupun Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk Desa10, pengesahan11 dan pelantikan12 kepala desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota. Kedua, pelantikan tersebut linier dengan penghasilan kepala desa. Selain itu, di Pasal 66 ayat (1) melegitimasi bahwa kepala desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Selain penghasilan tetap, kepala desa dan perangkat Desa juga menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Skema sumber pendapatan kepala desa tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pengaturan baru tentang Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan status kepala desa menjadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan bahwa kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada “pejabat negara”. Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara Pemerintahan Desa.
Urgensi Audit terhadap Dana Desa
Pasal 72 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa : “Anggaran desa ditetapkan minimal 10% dari dana transfer daerah dalam
Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN)”.
Adapun angka 10 persen berasal dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD, serta telah dikurangi dana alokasi khusus. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana desa tersebut, pemerintah dapat melakukan penundaan dan atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi dana alokasi khusus yang seharusnya disalurkan ke desa. Anggaran tersebut dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka pemerataan pembangunan desa.
Kebutuhan terhadap anggaran tersebut diajukan melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Ibarat DPR dan DPRD, BPD turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa, serta bersidang minimal setahun sekali. Selain itu, Pemerintah Kabupaten/Kota juga mengalokasikan bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah desa juga dapat menerima bantuan keuangan yang bersumber APBD Provinsi dan/atau APBD Kabupaten/Kota.
Sumber dana pemberian gaji tetap bagi Kepala Desa berasal dari Dana Perimbangan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang diterima Kabupaten/Kota. Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat juga memperoleh penerimaan lainnya yang sah. Konsekuensi dari hal tersebut yatu bahwa Kepala Desa harus melaporkan dan mempertanggungjawabkan penggunaan Dana Dnggaran Desa kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, dana yang mengucur ke desa diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa harus siap memberikan laporan dan pertanggungjawaban. Adapun dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa dipertegas bahwa kepala desa wajib menyampaikan laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa setiap tahun akhir anggaran kepada Bupati/Walikota. Namun, UU Desa tidak menyinggung sedikit pun tentang pemeriksaan penyelenggaran pemerintahan desa (termasuk pemeriksaan laporan keuangan APB Desa) oleh BPK. Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dana desa merupakan bagian keuangan negara, maka penggunaanya harus diaudit oleh BPK. Sebab seluruh penggunaan anggaran dana yang berasal dari APBN dan APBD wajib diaudit BPK.
Selama ini, penggunaan anggaran Dana Desa tak pernah diaudit oleh BPK, karena tidak secara langsung penggunaannya dari APBN. Adanya pemeriksaan oleh BPK dan kemungkinan terjerat oleh kasus hukum, akan membuat para Kepala Desa tidak mengajukan Anggaran Dana Desa karena takut akan menjadi tersangka korupsi karena kesalahan pembuatan laporan. Kemungkinan lainnya, para Kepala Desa akan meminta pemerintah supaya audit BPK ditiadakan. Namun, dengan meniadakan audit BPK akan memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran bahkan korupsi.
Penggunaan keuangan negara baik di tingkat pusat hingga di tingkat daerah tidak terlepas dari pemeriksaan BPK, termasuk desa. Artinya, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan tentang penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban terkait kucuran dana dari APBN maupun APBD ke desa. Adapun peraturan pelaksana dari UU tentang Desa, yaitu PP Nomor 43 Tahun 2014, tidak secara terperinci mengatur hal-hal tersebut. Selain menerbitkan peraturan turunan dari UU Desa, penguatan kapasitas dan kemampuan Kepala Desa dan perangkat desa perlu diberikan, untuk meminimalisir dan mencegah penyelewengan anggaran, mengalokasikan anggaran desa dengan baik, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
PENUTUP
Kedudukan Kepala Desa adalah sebagai Pimpinan Pemerintah Desa, dan ia dibantu oleh perangkat Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak mengubah status Kepala Desa menjadi Pejabat Negara, walaupun Kepala Desa memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa). Namun kedudukan Kepala Desa tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara Pemerintahan Desa. Kepala Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam APBD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU BPK, Dana Desa merupakan bagian dari keuangan negara, maka penggunaanya harus diperiksa oleh BPK. Sebab seluruh penggunaan anggaran dana yang berasal dari APBN dan APBD wajib diaudit oleh BPK. Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa harus siap memberikan laporan dan pertanggungjawaban. Pemerintah Pusat perlu segera menerbitkan peraturan tentang penggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban terkait kucuran dana dari APBN maupun APBD ke desa; serta memberikan penguatan kapasitas dan kemampuan Kepala Desa dan perangkat desa, agar siap untuk diperiksa oleh BPK.
Penulis:
Judika L. M, Subbag Hukum BPK