
Tarakan, Infoindependen.com – Jonathan sebut saja demikian namanya, tampak lemas. Lelaki paruh baya ini sepertinya tak bergairah menangkap ikan yang menggelepar-gelepar di permukaan air sungai dan kemudian tenggelam. Matanya lesu memandang ke hulu memperhatikan air sungai yang kerus seperti susu coklat.
Telah beberapa minggu ini air sungai di depan rumahnya berubah warna akibat jebolnya tanggul kolam penampung limbah tambang batubara milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) yang berlokasi di Desa Langap Sengayan, Kecamatan Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) beberapa minggu lalu.
Bagi 14 desa yang berada di sepanjang DAS Sungai Malinau, seperti Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gong Solok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban, Lidung Keminci, Pulau Sapi, Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota kehadiran perusahaan tambang batubara ini merupakan ancaman atas kehidupan mereka. “Satu-satunya sungai di dunia tanpa ikan hanya ada di sini,” papar Jonathan.
Selain punahnya ikan warga juga tidak bisa lagi memanfaatkan air untuk mandi, cuci, dan keperluan sehari-hari (MCK) akibat pencemaran dari hulu.
“Kita berharap adanya perhatian anggota DPR-RI Ir Deddy Yevri Hanteru Sitorus, MA. Negara hadir dalam mengawasi dan menindak perusahaan yang terindikasi kuat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan aturan sehingga tidak leluasa beroperasi,” kata Saut Tamba Saragi Ketua FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan ABRI) Kabupaten Malinau kepada Infoindependen.com, Rabu (31/3/2021) kemarin.
Menurutnya, kerusakan lingkungan akibat kegiatan PT KPUC selain pencemaran sungai, sangat diperlukan pengawasan terhadap indikasi lain seperti reklamasi lubang bekas galian tambang, dan kerusakan hutan.
Sementara beberapa warga Desa Langap, Long Loreh, dan Seturan mengungkapkan, keruhnya air sungai sudah terjadi sejak perusahaan tambang batubara ini beroperasi beberapa tahun lalu.

“Kolam Tuyak sendiri merupakan anak sungai yang dibendung untuk dijadikan tempat penampungan limbah perusahaan,” ujar masyarakat kepada beberapa wartawan di Malinau.
Makanya, Saragi sangat berharap, negara dalam hal ini Menteri ESDM RI, Menteri Kehutanan & Lingkungan Hidup RI, dan Kapolri membawa kasus pencemaran yang dilakukan PT KPUC yang berkantor pusat di Tarakan ini ke jalur hukum.
Sebab, katanya, “tidak ada terlihat itikat pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Makinau untuk menghormati, melindungi termasuk memulihkan Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup, dan penegakan aturan terhadap kejahatan lingkungan hidup.
Menurut Saut Saragi, perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan tersebut, dapat dipidana. Apalagi jika pencemaan lingkungan hidup itu mengakibatkan orang meninggal. Terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran tersebut, perusahaan wajib membayar ganti kerugian dan/ atau melakukan tindakan tertentu.
“Jadi, lanjutnya, seharusnya perusahaan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan melakukan penanggulangan pencemaran yang salah satunya memberikan informasi peringatan pencemaran kepada masyarakat.
Hal ini dapat mencegah masyarakat yang meminum air sungai yang sudah tercemar. Selain itu perusahaan juga wajib melakukanpemulihan terhadap pencemaran yang terjadi pada sungai tersebut,” ujarnya.
Soal ancaman pidana bagi perusahaan yang sengaja membuang limbahnya yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu air, berdasarkan Pasal 60 jo. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dipidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5 (lima) miliar dan paling banyak Rp 15 (lima belas) tahun. (SL Pohan)